FILSAFAT UMUM
DAVID HUME
Di kerjakan oleh :
Diah Sopiah (12514962)
Heni Rahmawati (14514914)
FAKULTAS PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014
BIOGRAFI TOKOH
Hume
lahir di Edinburgh, Skotlandia pada tanggal 26 April 1711 dengan nama aslinya
David Home. Namun pada tahun 1734 ia mengubah namanya karena di Inggris
kesulitan mengucapkan “ Home” dengan cara skotlandia. Hume merupakan putra
pasangan Yusuf chrinside dan Khaterine Falcorner. Tapi ayahnya meninggal pada
saat usia Hume masih kecil, sehingga dia dibesarkan oleh ibunya.Dalam masalah
pendidikan Hume mendapatkan pendidikan yang sangat baik. Dengan harta warisan
yang ditinggalkan ayahnya. Hume mendaftarkan di Universitas Edinburgh untuk
belajar sastra klasik. Tetapi Hume tidak puas dengan pendidikan yang
diterimanya, kemudian ia memutuskan untuk keluar dari Universitas dan dia
memilih untuk pergi ke Perancis dan menjadi seorang filsuf besar.Pada tahun 1734, setelah beberapa bulan sibuk dengan perdagangan di Bristol, ia pergi ke La fleche di Anjon, Perancis. Disana ia sering wacana dengan jesuit dari College Of La Fleche, saat itu ia telah menghabiskan sebagian besar tabungannya selama empat tahun disana untuk menulis karyanya yang berjudul A Treatise of Human Nature, beliau menyelesaikannya pada usia 26 tahun.
Setelah publikasi karyanya pada tahun 1744, Hume ditetapkan menjadi ketua Pneumatics dan Moral Filsafat dan moral di Universitas Edinburgh.Namun posisi itu diberikan kepada William Cleghorn, setelah menteri Edinburgh mengajukan petisi kepada dewan kota untuk tidak menunjuk Hume karena ia dituduh sebagai ateis. Hume juga dituduh bid’ah, tapi ia dipertahankan oleh ulama muda teman-temannya yang berpendapat bahwa sebagai ateis, ia berada di luar gereja yuridiksi. Meskipun pembebasan itu Hume gagal untuk mendapatkan jabatan sebagai ketua filsafat di Universitas Glasgow.
Hume mencapai ketenaran sastra besar sebagai seorang sejarawan dengan karyanya The History Of England, menelusuri peristiwa-peristiwa dari invasi Julius Caesar ke revolusi 1688, adalah best seller dalam sehari. Didalamnya, Hume menyerahkan orang politik sebagai makhluk kebiasaan, dengan disposisi untuk menyerahkan diam-diam kepada pemerintah yang berkuasa kecuali dihadapkan oleh keadaan yang tidak menentu. Dalam pandangannya, hanya agama yang bisa membelokkan orang lain dari kehidupan sehari-hari mereka untuk berfikir tentang hal-hal politik.
Hume wafat diusianya yang ke 65 pada tahun 1776 di kota kelahirannya Edinburgh, Skotlandia. Dan sepanjang hidupnya, Hume tidak pernah menikah.
Aliran empirisme dibangun pada abad ke-17 yang muncul setelah
lahirnya aliran rasionalisme. Bahkan aliran empirisme bertolak belakang dengan
aliran rasionalisme. Menurut paham empirisme bahwa pegetahuan bukan hanya
didasarkan pada rasio belaka, di inggris.
Konsep mengenai filsafat empirisme
muncul pada abad modern yang lahir karena adanya upaya keluar dari kekangan
pemikiran kaum agamawan di zaman skolastik. Descartes adalah salah seorang yang
berjasa dalam membangun landasan pemikiran baru di dunia barat. Descartes
menawarkan sebuah prosedur yang disebut keraguan metodis universal dimana
keraguan ini bukan menunjuk kepada kebingungan yang berkepanjangan, tetapi akan
berakhir ketika lahir kesadaran akan eksisitensi diri yang dia katakan dengan
cogito ergo sum yang artinya saya
berpikir, maka saya ada.(Ilyas Supeno, tt: 3). Teori pengetahuan yang
dikembangkan Descartes dikenal dengan
rasionalisme karena alur pikir yang dikemukakan Rene Descartes bermuara kepada
kekuatan rasio manusia. Sebagai reaksi dari pemikiran rasionalisme Descartes
inilah muncul para filosof yang berkembang kemudian yang bertolak belakang
dengan Descartes yang menganggap bahwa pengetahuan itu bersumber pada
pengalaman atau empirisme. Mereka inilah yang disebut sebagai kaum empirisme,
di antaranya yaitu John Locke, Thomas Hobbes, George Barkeley, dan David Hume.
Dalam makalah ini tidak akan membahas semua tokoh empirisme, akan tetapi akan dibahas
empirisme David Hume yang dianggap sebagai puncak empirisme yang paling
radikal.
Konsep Empirisme
Empirisme adalah suatu aliran dalam
filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia dan mengecilkan peranan
akal. Empirisme dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau
pengalaman. Sebagai suatu doktrin empirisme adalah lawan dari rasionalisme.
Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna tidak
diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau bersumber dari panca indera
manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan kata lain,
kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia. Empirisme
menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya
ketika dilahirkan. Paham empirisme ini mempunyai ciri-ciri pokok yaitu:
- Teori tentang makna
Teori pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan yaitu asal
usul ide atau konsep. Pada abad pertengahan, teori ini diringkaskan dalam rumus
Nihil Est in Intellectu Quod Non Prius Feurit in Sensu (tidak ada sesuatu di
dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman). Pernyataan ini merupakan
tesis Locke yang terdapat dalam bukunya “An Essay Concerning Human Understanding”
yang dikeluarkan tatkala ia menentang ajaran ide bawaan (Innate Idea) kepada
orang-orang rasional. Jiwa (Mind) itu tatkala dilahirkan keadaannya kosong
laksana kertas putih yang belum ada tulisan di atasnya dan setiap ide yang
diperolehnya mestinya datang melalui pengalaman, yang dimaksud di sini adalah
pengalaman indrawi. Hume mempertegas teori ini dalam bab pembukaan bukunya
“Treatise of Human Nature (1793)” dengan cara membedakan antara ide dan kesan.
Semua ide yang kita miliki itu datang dengan kesan-kesan, dan kesan itu
mencakup penginderaan, passion dan emosi.
- Teori pengetahuan
Menurut rasionalis ada beberapa
kebenaran umum seperti setiap kejadian tertentu mempunyai sebab, dasar-dasar matematika dan beberapa prinsip dasar
etika dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan
istilah kebenaran a priori yang diperoleh keluar intuisi rasional. Empirisme
menolak hal demikian karena tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua
kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran kebenaran yang diperoleh lewat
observasi, jadi ia kebenaran a posteriori.
Poedjawijatna
(1997:105) menyatakan bahwa empirisme berguna dalam filsafat pada umumnya
karena dengan empirisme ini filsafat memperhatikan lebih cermat lagi manusia
sebagai keseluruhan. Ajaran-ajaran pokok empirisme yaitu:
- Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
- Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
- Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
- Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
- Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
- Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Dari beberapa
pandangan mengenai paham empirisme tersebut diatas, menurut penulis empirisme
adalah yang suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan. Sehingga setiap orang yang menyatakan telah memiliki
pengetahuan dia harus bisa membuktikan apa itu pengetahuan berdasarkan
pengalaman yang dapat di ketahui oleh indra manusia.
Pemikiran Hume
Skeptisme
mendasar dalam pikiran Hume menentang terhadap tiga pemikiran sebelumnya. Hume melawan
ajaran-ajaran rasionalitas tentang idea-idea bawaan. Selanjutnya menyerang
pemikiran religius, entah dari katolik, Anglikan, maupun Penganut Deisme.
Terakhir serangan pada empirisme sendiri yang masih percaya pada substansi (F.
Budi Hardiman, 2004: 87). Hume mengungkap karya-karya Francis Hutcheson,
seorang filsuf moral dari Skotlandia di Universitas Glasgow, yang berpendapat
bahwa prinsip moral tidak berdasarkan kitab injil, seperti dikatakan penganut
kristiani, juga tidak berdasarkan akal pikiran, seperti pendapat Plato dan
Socrates. Keyakinan Moral Menurut Hutcheson terdapat pada perasaan kita,
sentimen setuju atau tidak setuju kita
(Lavine, 1984: 137). Kemudian dengan mengembangkan pandangan Hutcheson dan
menggabungkan empirisme Locke dan Berkeley, Hume berpendapat bahwa pengetahuan
didapat hanya dari persepsi panca indra (Lavine, 1984: 138). Hume memulai
pemikiran kontroversialnya melalui penggabungan dua konsep tersebut, yaitu
bahwa pengetahuan terbaik kita, hukum ilmiah, bukanlah apa-apa melainkan
persepsi pengindraan yang meyakinkan perasaan kita. Karena itu meragukan sekali
bahwa kita memiliki pengetahuan, kita hanya mempunyai persepsi panca indra dan
perasaan. Dalam pemikiran Hume, ada skeptisme radikal, bentuk keraguan ekstrem
atas kemungkinan bahwa kepastian dalam pengetahuan merupakan hal yang bisa
dicapai.
Tentang Teori Pengetahuan Hume
Landasan Segala Pengetahuan
T.Z. Lavine (1984: 140) mengungkapkan
Hume dalam bukunya Treatise of Human Nature bagian pendahuluan, dia mengatakan
bahwa tujuan penulisannya adalah untuk mempelajari ilmu pengetahuan mengenai
manusia dan menjelaskan prinsip-prinsip sifat alamiah manusia. Menurutnya ilmu
pengetahuan lainnya didasarkan pada ilmu pengetahuan mengenai manusia. Sehingga
mempelajari ilmu tersebut, merupakapan proses mempelajari landasan segala
pengetahian manusia. Untuk membuktikan ini Hume mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang merupakan pertanyaan para penganut empirisme sebagai
berikut: Bagaimana Anda Tahu? Apa yang menjadi asal pengetahuan kita? Apa yang
menjadi batasan pengetahuan manusia?
Dari pertanyaan
tersebut dia mengetahui apa sebenarnya yang akan dia tunjukan: bahwa kita
tidaklah memiliki pengetahuan, melainkan sekedar keyakinan bahwa yang kita
rasakan itu benar. Karena menurutnya semua pengetahuan dimulai dari pengalaman
indra sebagai dasar (Ahmad Tafsir, 2001: 181).
Steven M. Cahn (
2009: 136) menyatakan bahwa menurut Hume sumber pengetahuan adalah pengamatan
persepsi pengindraan bukan ide bawaan (ide innate). Hasil dari pengamatan tersebut
adalah kesan-kesan (impression) dan pengertian-pengertian atau idea-idea
(ideas) . Isi ide dan kesan adalah sama perbedaannya adalah cara timbul dalam
kesadaran (Harun Hadi Wijaya, 2000: 53). Kesan adalah sensasi, hasrat, dan
emosi seketika, data dari perbuatan melihat, menyentuh, mendengar, keinginan,
mencintai, membenci seketika. Gagasan adalah gambar salinan atau samar dari
kesan. Perbedaan Kesan dan gagasan adalah kesan memiliki kekuatan dan
kenampakan yang lebih besar. Gagasan hanyalah gambar dari kesan kita, yang
terdapat di dalam pemikiran, penalaran, dan pengingatan.
Semua pengalaman
manusia menurut Hume termasuk golongan penghayatan atau golongan ide-ide
(Brouwer, 1986: 62). Hume menguraikan dan menjelaskan hubungan antara kesan dan
ide dengan menyatakan bahwa keduanya dipandang dari segi simplisitas atau
kompleksitasnya, dapat dibagi menjadi dua kategori. Sebuah kesan yang kompleks
tersusun atas kesan-kesan yang simpel. Selain itu, setiap ide yang simple
berasal dari kesan tunggal yang berhubungan secara langsung. Di sisi lain,
sebuah ide kompleks tidak perlu berasal dari sebuah kesan kompleks. Sebaliknya,
ide-ide kompleks dapat dikembangkan dari variasi kesan simpel atau kompleks,
atau ide-ide kompleks itu dapat disusun dari ide-ide simple.
Kritik Keras atas Doktrin Dua Jenis Pengetahuan
Alasan Hume
mengawali buku Treatise-nya dengan landasan pengetahuan manusia adalah untuk menanyakan
apa yang menjadi landasan pengetahuan. Maka untuk menunjukan bahwa hanya ada
satu landasan pengetahuan, berisi satu pengetahuan saja, pengetahuan oleh
persepsi panca indra. Dia ingin meruntuhkan dua jenis pengetahuan menurut
filsafat lama yaitu: 1. Pengetahuan biasa tingkat bawah mengenai alam kasat
mata, alam yang berubah-ubah menurut Plato
disebut opini sejati dan Descrates menamakan ide pemikiran indra yang
membingungkan. 2. Bagi Plato dan Descrates ada tingkatan tinggi pengetahuan
dengan penalaran sebagai sumbernya dan menciptakan kepastian (T.Z. Lavine,
1984: 141).
Hume membantah
kedua jenis pengetahuan tersebut, pemikiran bahwa ada jenis pengetahuan tingkat
atas yang bisa dicapai filsuf dengan akalnya, pengetahuan realitasnya,
pengetahuan metafisika adalah keliru hanyalah ilusi. Kata Hume kita tidak akan
pernah tahu alam realitas yang sebenarnya. Para filsuf yang mengatakan bahwa
mereka mengetahui alam realitas yang sebenarnya adalah penjahat dan sangat
bodoh, karena apa yang diketahui manusia terbatas pada persepsi panca indra.
Pemikiran manusia itu terbatas, sesuatu yang dicari metafisika ini, tidak akan
kita ketahui. Hume mengatakan bahwa doktrin dasar atas metafisika bahwa ada dua
jenis pengetahuan, pengetahuan biasa dengan persepsi panca indra dan
pengatahuan metafisika tingkat tinggi dengan pemikiran atau akal, adalah omong
kosong.
Menurut Steven M.
Cahn (2009: 137) bahwa Hume membagi pengetahuan menjadi dua. Pertama
pengetahuan demostratif merupakan yang diperoleh melalui pemikiran tentang
hubungan antara idea-idea. Kedua pengetahuan yang diperoleh melalui pemikiran
tentang matter of fact yang disebut moral.
Prinsip–Prinsip Empirisme
Prinsip dasar
yang telah ditetapkan Hume adalah “Segala gagasan sederhana kita awalnya
dihasilkan dari kesan sederhana yang berkaitan dengan gagasan itu dan
benar-benar mewakili keberadaannya” (Lavine, 1984: 145). Cara Hume
mengungkapkan penjelasan tersebut dengan benar-benar mengkritik untuk
menganalisis dan menjatuhkan berbagai gagasan. Hal ini juga disebut sebagai
bola penghacurnya yang paling kuat. Hume mempertanyakan dari kesan apa gagasan
ini muncul?
Hume kemudian
melihat ide pemikiran mengenai zat yang dipakai Descrates, Hume bertanya dari
kesan apa ide pemikiran itu muncul? Dengan pertanyaan ini maka akan didapati
jawaban bahwa tidak mungkin dari kesan atas zat yang bersangkutan, namun
hanyalah kesan ciri yang kita rasakan, seperti ukuran, bentuk dan warna. Jadi
ide pemikiran zat ini merupakan cirri-ciri yang kita alami. Oleh karena itu
kita tidak dapat mengatakan bahwa zat itu tidak ada. Kita bias tahu bahwa
sesuatu itu ada apabila kita mempunyai kesan atas sesuatu tersebut. Jadi Hume
telah menjatuhkan pertanyaan bahwa zat itu ada dengan menunjukan bahwa kita
tidak memiliki kesan atas zat fisik. Aturannya sederhana jika tidak ada
kesan, maka tidak ada gagasan. Jika tidak ada kesan gagasan itu tanpa makna. Jadi
aturan empirisme Hume tidak hanya uji kelayakan gagasan kita sebagai
pengetahuan namun juga uji atas makna gagasan kita.
Penggabungan Gagasan
Keterkaitan
kesatuan di antara gagasan-gagasan tersebut, ciri-ciri yang berkaitan, dimana
satu gagasan memunculkn gagasan yang lainnya. Dengan demikian pasti ada prinsip
universal dalam pemikiran kita, bukan sebagai kebutuhan, namun sebagai kekuatan
untuk menggabungkan beberapa gagasan dengan cara tertentu. Hume menggambarkan
kekuatan ini sebagai “kekuatan lembut, yang pasti bertahan”. Gabungan gagasan
kita berdasar pada tiga ciri gagasan, yang cenderung membawa pikiran kita dai
suatu gagasan ke gagasan yang lain, mengaitkan atau menggabungkan satu gagasan
dengan gagasan yang lain. Lavine (1984: 146-147) mengatakan Hume membuat tiga
ciri sebagi basis dari tiga hukum penggabungan gagasan.
- Hukum pertama adalah gagasan tergabung atau terkait oleh kemiripan atar-gagasan. Hume memberi contoh “sebuah lukisan dengan mudah membawa pikiran kita ke obyek aslinya”.
- Hukum kedua adalah kedekatan satu gagasan dengan gagasan yang lainnya dalam hal ruang dan waktu. Pikiran kita cenderung menggabungkan satu gagasan dengan gagasan yang lain secara fisik atau jasmaniah tergabung. Hume mencotohkan “menyebutkan satu apartemen dalam sebuah gedung umunya akan membawa pikiran kita mengenai apartemen lainya.
- Hukum ketiga adalah sebab-akibat, pikiran kita tampaknya dipaksa untuk mengaitkan suatu sebab dengan akibat yang dibawanya. Bertrand (1946: 880) menyatakan skeptisme Hume semata didasarkan pada penolakannya atas prinsip induksi yang diterapkan pada hukum sebab akibat. Misalnya jika kita memikirkan luka, kita tidak jarang sekali bias mencegah diri kita memikirkan rasa sakit yang mengikutinya.
Hukum
penggabungan gagasan merupakan bagian dari strategi bola penghancurnya dan
menggunakan hukum penggabungan gagasan dengan sebab akibat untuk menjatuhkan
pertanyaan bahwa kita bisa memiliki pengetahuan ilmiah sehingga sebab tertentu
secara otomatis menghasilkan akibat tertentu.
Hume berkata
bahwa gagasan atomis kita, yang berkaitan dengan kesan, terkait atau tergabung
dengan menggunakan tiga hukum penggabungan, yang merupakan kekuatan yang lembut
yang memaksa kita menggabungkan satu gagasan dengan gagasan lainnya. Tiga hukum
ini berlaku pada segala pemikiran kita, juga termasuk pemikiran ilmiah kita.
Ketiga hukum ini akan memberikan dorongan terkuat untuk mengaitkan satu ide
dengan ide lainnya adalah sebab dan akibat (Lavine, 1984: 147). Selanjutnya
Hume menyatakan bahwa segala sesuatu yang bias kita bahwa segala sesuatu yang
bias kita katakana mengenai suatu obyek, mengenai masalah fakta, di luar
mengenai kesan seketika kita atas apa yang kita lihat dan sentuh, haruslah
didasarkan pada hubungan sebab akibat. Semua pemikiran kita mengenai persoalan fakta
merupakan pemikiran kausal. Dan pemikiran kita yang penting mengenai persoalan
fakta merupakan pemikiran ilmiah, dengan hukum alam kausalnya.
Ketiga hukum ini
mencirikan semua kerja mental kita, termasuk penalaran kita, dan secara khusus
hokum tersebut mengkarakteistikkan gagasan ilmiah kita. Diantarar ketiga hokum
tersebut yang merupakan penghubung yang paling kuat diantara gagasan.
Analisis terhadap Kausalitas (Sebab-Akibat)
Selanjutnya, Hume
sangat tertarik pada relasi sebab dan akibat karena sejak lama dalam filsafat,
diyakini adanya hubungan sebab akibat yang terjadi di alam ini ( Budiman, 2004:
89). Semua pertimbangan yang berkenaan dengan masalah fakta tampak didasarkan
pada relasi sebab dan akibat. Dengan sarana relasi itu, kita dapat melampaui
bukti dari memori dan indera kita. Hume menegaskan bahwa pendapat menegenai
hubungan itu tidak benar dan didasrkan pada sebuah kebinggungan belaka. Segala
peristiwa yang kita amati memiliki hubungan tetap satu sama lain, tapi hubungan
tidak boleh disebut kausalitas.
Hume menjelaskan
bahwa pendapat tentang sebab-akibat (kausalitas) itu merupakan suatu hubungan
atar idea (relation of ideas). Ide kausalitas juga tidak dapat diperoleh
melalui persepsi (A. Tafsir: 2001: 184). Hume menegaskan
bahwa ketika kita berpikir tentang relasi sebab dan akibat antara dua hal atau
lebih, maka biasanya kita memaksudkannya dengan arti bahwa yang satu, secara
langsung atau tidak langsung bersebelahan dengan yang lain, dan bahwa yang
satu, yang kita beri tanda sebagai sebab adalah dalam beberapa hal, secara
temporer mendahului yang lain. Bagaimanapun, kondisi-kondisi ini tampak tidak
mencukupi bagi munculnya sebuah relasi sebab dan akibat. Karena dapat dipahami
bahwa X dapat bersebelahan dengan dan secara temporer sebelum Y tanpa menjadi
sebab dari Y, maka diperlukan sesuatu yang lebih. Hume beranggapan bahwa kita
menambahkan sebuah ide jika ada hubungan tetap antara X dan Y di dalam situasi
di mana X dikatakan sebab dari Y. Tanpa tambahan ide bahwa setiap peristiwa
atau hal pasti memiliki suatu sebab yang menghasilkannya secara pasti, maka
pemahaman biasa tentang relasi sebab dan akibat tidak akan muncul. Dengan
demikian, jika suatu gejala tertentu disusul oleh gejala lain, dengan
sendirinya kita cenderung kepada pikiran bahwa gejala yang satu disebabkan oleh
gejala yang sebelumnya. Misalnya batu yang disinari matahari selalu panas. Kita
menyimpulkan batu menjadi panas karena disinari matahari. Tetapi kesimpulan ini
tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberikan urutan gejala-gejala,
tetapi tidak memperlihatkan urutan sebab-akibat (Harun Hadi Wijaya, 2000: 55).
Hume menegaskan
bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibanding kesimpulan logika atau
kemestian sebab-akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja
dan secara konstan terjadi seperti, api membuat api mendidih. Padahal dalam api
tidak dapat diamati adanya daya aktif yang mendidihkan air. Jadi daya aktif
yang disebut hukum kausalitas itu bukanlah yang dapat diamati, bukan hal yang
dapat dilihat dengan mata sebagai benda yang berada dalam air yang direbus.
Dengan demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiwa yang
akan datang berdasarkan peristiwa yang terdahulu.
Menurut Hume, pengalamanlah yang
memberi informasi yang langsung dan pasti terhadap objek yang diamati sesuai
waktu dan tempat. Roti yang telah saya makan, kata Hume, mengenyangkan saya,
artinya bahwa tubuh dengan bahan ini dan pada waktu itu memiliki rahasia
kekuatan untuk mengenyangkan. Namun, roti tersebut belum tentu bisa menjadi
jaminan yang pasti pada waktu yang akan datang karena roti itu unsurnya telah
berubah karena tercemar dan kena polusi dan situasipun tidak sama lagi dengan
makan roti yang pertama. Jadi, pengalaman adalah sumber informasi bahwa roti
itu mengenyangkan, untuk selanjutnya hanya kemungkinan
belaka bukan kepastian (A. Tafsir,
2001: 185).
Hume membuang segala bentuk
kausalitas dalam etikanya (Harun Hadi Wijaya, 2000: 56), Pernyataan Hume
mengenai empirisme penggabungan dengan pandangan Hutcheson mengenai moralitas
yang bersumber dari sentiment atau perasaan. Hal ini membaa Hume pada pemikiran
kontroversialnya bahwa hukum ilmu pengetahuan kita hanya bersumber pada
perasaan. Kemudian Hume mengemukakan gebrakannya ”Hukum ilmu pengetahuan
didasarkan bukan pada apa-apa melainkan pada kesan indra yang dikaitkan dengan
hukum psikologi penggabungan dan perasaan kekuatn yang digunakan. Hukum
ilmiah tidak berarti apa-apa melainkan penggabungan psikologis berbagai
gagasan. Sumbangan terbesa Hume dalam filsafat dan pengaruh terbesarnya adalah
analisisnya mengenai hubungan sebab-akibat. Ini merupakan karya besarnya menghacurkan pemikiran –
pemikiran lain.
Filsafat Hume atas Agama
Kritik Keras Hume atas Bukti Rasional Mengenai Tuhan.
Hume menyangkal
bukti klasik keberadaan Tuhan yang menggunakan akal penalaran.
Hume mengkritik keras ketiga bukti keberadaan Tuhan Descartes, dua bukti
pertama adalah bukti sebab-akibat, Descartes
mendasarkan diri pada kejelasan dan kejernihan pemikiran bahwa sebab
harus sama nyatanya dengan akibatnya. Bagi Descartes gagasan ini sangat jelas
sehingga tidak ada pikiran rasional apa pun yang bisa meragukan, namun bagi
Hume sangatlah tidak berarti karena kita tidak mempunyai kesan indra mengenai
Tuhan sebagai suatu sebab, kita juga
tidak mempunyai kesan apa pun mengenai benda yang berfikir sebagai akibat.
Steven M. Cahn
(2009: 272) menyatakan bahwa menurut Hume sepanjang sejarah tidak pernah ada
beberapa orang yang menyaksikan adanya mukjizat mengenai adannya Tuhan.
Semuanya adalah kebohongan, karena menurutnya timbulnya keyakinan bahwa Tuhan
itu ada adalah karena manusia merasa takut dan gelisah kemudian mengada-adakan
dan menyakininya.
Bukti ketiga
Descartes atas keberadaan Tuhan pada Meditasinya yang kelima, menggunakan bukti
ontologis yang dikemukakan oleh Saint Anselm di abad XI yang menngungkapkan ide
bawaan mengenai Tuhan yang memiliki segala kesempurnaan, dan oleh itu memiliki
kesempurnaan pada kewujudan-Nya. Hume meruntuhkan bukti ini dengan pertama mengingatkan
atas filsuf empirisme seperti Locke tidak ada yang namanya ide bawaan, kita
hanya memiliki gagasan yang muncul dari pengalaman kesan. Kemudian Hume
menjawabnya dengan uji empirisme atas gagasan, jika tidak ada kesan dalam
pengalaman, gagasan tidaklah bermakna, tidak berarti. “Gagasan kita tidak lebih
dari pengalaman kita, kita tidak memiliki pengalaman akan ciri-ciri akhirat.
Aku harus menyimpulkan silogismeku. Anda bias menarik kesimpulan sendiri.”
pernyataan Hume. Maka bukti adanya Tuhan sebagaimana pendapat Descartes telah
diruntuhkan.
Hume juga
mengkritik ajaran tentang keabadian atau immortalitas, yang percaya akan adanya
keabadian sehingga keabadian menjadi dasar sistem moral (Budiman, 2004: 91).
Pendapat ini sepertinya karena Hume beranggapan bahwa manusia bi sa mewujudkan
cita-citanya tentang hidup sosial tanpa menunggu akhirat.
Kritik Hume atas Deisme
Bukti mengenai
Tuhan dengan menggunakan akal yang berlandaskan pada keteraturan, harmoni, dan
keindahan yang ditemukan di seluruh alam ini, merupakan bukti keberadaan Tuhan
yang paling diterima di abad pencerahan. Deisme merupakan keyakinan utama
doktrin Kristen bahwa Tuhan itu ada sebagai satu-satunya sumber rancangan dan
pengetahuan yang harmonis atas seluruh bagian alam semesta ini. Sebuah
pandangan religious yang hanya berlandaskan akal pemikiran, menyangkal kenabian
dan mukjizat, konsep Tuhan dibuat sejalan dengan akal pikiran dan ilmu
pengetahuan.
Hume meruntuhan
doktrin Deisme dengan menggunakan bentuk dialog Plato dalam Dialogues Concerning
Natural religion. Suara Hume tertuang dalam Philo yang Skeptis yang
mengungkapkan kesan dari indra kita adalah landasan untuk semua pengetahuan
ilmiah kita, dan kesan ini tidak memberikan bukti bagi pernyataan bahwa semesta
ini secara sempurna teratur dan harmonis, juga tidak menjamin bahwa keteraturan
semacam ini akan berlanjut selamanya.
Hume menambahkan
pertanyaan apakah anda menemukan bukti bahwa dunia ini dirancang dngan baik
oleh perancang yang baik dan penyayang? Lalu bagaimana menjelaskan kesedihan,
rasa sakit, dan kejahatan dalam kehidupan manusia? Ini merupakan kritik paling
keras terhadap agama Deisme di Masa Pencerahan.
Kritik atas keyakinan pada Mukjizat
Hume juga
mengkritik adanya Mukjizat dalam esainya “Of Miracles” tahun 1748. Mukjizat
menurut Hume merupakan pelanggaran hukum alam oleh pihak
akhirat, zat supranatural. Mukjizat telah menentang pengalaman manusia,
pengetahuan ilmiah, semua keteraturan dan konjugsi konstan kesan manusia. Tidak
ada mukjizat yang bias menjadi landasan yang layak untuk agama karena sangat
bertentangan dengan akal manusia.
F. Budi Hardiman (2004: 92)
menyatakan bahwa Hume melontarkan lima
argumen yang untuk mengkritik mengenai mukjizat ini. Pertama Hume mengatakan sepanjang sejarah belum pernah ada mukjizat
yang disaksikan secara kolektif oleh orang-orang cerdas. Kedua kecenderungan
manusia mempercayai peristiwa luar biasa tapi tidak membuktikan kebenaran
mukjizat. Ketiga kejadian mukjizat terjadi ketika manusia belum maju dalam ilmu
pengetahuan. Keempat segala wahyu mempunyai klaimnya sendiri atas mukjizatnya
masing-masing. Kelima semakin ilmiah
penelitian historis, semakin ragulah si sejarawan terhadap peristiwa mukjizat.
REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar